Keris, Lambang Kedigdayaan
Ksatria Nusantara
Sumber:
Ramadhian Fadillah adalah wartawan detikco
Jakarta, - Di pendopo agung Keraton Singosari, tiga
prajurit utusan Kubilai Khan meminta kerajaan-kerajaan di Jawa takluk dan
membayar upeti. Saat itu, ketangguhan pasukan berkuda Mongolia tidak
tertandingi. Konon, mendengar namanya saja para raja gemetar ketakutan.
Prabu Kertanegara tahu hal ini. Raja Singosari ini juga tahu akibatnya jika menolak permintaan Kubilai Khan. Tapi dia tahu kedaulatan dan harga diri memang harus dijaga dengan darah dan nyawa. Seluruh pendopo pun hening, terdiam menunggu keputusan sang raja.
Raja gagah keturunan Ken Arok itu berjalan mendekati utusan Mongol yang sombong. Mereka jumawa, merasa tidak pernah terkalahkan di kolong langit.
Dengan ringan, Kertanegara mencabut keris pusaka Singosari dari warangkanya. Lebih cepat dari kilat, keris itu menebas telinga Meng Ki, salah satu utusan Negeri Mongol. Ini jawaban Kertanegara atas penghinaan Mongol.
Tanpa bicara, kerisnya sudah bicara. Singosari menolak tunduk pada Mongol. Rakyat Singosari tidak gentar pada tentara Mongol yang katanya tidak terkalahkan. Silakan datang, maka seluruh ksatria Singosari akan melawan.
Siapa sangka jika adegan di abad ke-13 itu turut menentukan alur berdirinya bangsa Indonesia. Jika saat itu, Kertanegara memilih tetap menyarungkan kerisnya, mungkin sejarah Indonesia akan lain. Mungkin Majapahit sebagai penerus Singosari tidak akan pernah berdiri. Tidak akan ada kisah Hayam Wuruk serta Gajah Mada dan Sumpah Palapa. Tapi hari itu adalah takdir, sudah menjadi keinginan yang Kuasa Kertanegara mencabut kerisnya.
Sama seperti filosofi keris. Baik bilah lurus atau luk, semuanya memiliki ujung tajam yang mengarah ke atas. Melambangkan semua kehidupan ini mengarah pada satu tujuan akhir, takdir dan akhirat.
Keris pada masanya adalah pelengkap kehidupan masyarakat. Bukan hanya di Jawa, keris digunakan di seluruh Nusantara. Di Bali, Kalimantan, Sumatera, hingga Sulawesi. Sehingga salah jika mengidentikan keris dengan budaya Jawa.
Keris adalah budaya Nusantara. Keris sama tuanya dengan kebudayaan logam di Nusantara. Tahun 1416, Ma Huan salah satu anggota ekspedisi Cheng Ho menyebutkan dalam catatannya, orang-orang Majapahit selalu mengenakan belati yang diselipkan pada ikat pinggang. Ma Huan cukup kagum dengan belati khas Jawa yang diketahui sebagai Keris. Dalam catatannya dia menjelaskan belati itu ditempa dengan baik dan diukir dengan indah. Hal ini menunjukan saat itu, para pandai besi di Indonesia sudah memiliki kemampuan yang tinggi.
Kisah lain diceritakan oleh seorang penjelajah Portugis, Tome Pires, pada abad ke-16. Dia menuliskan keris digunakan oleh setiap pria di Pulau Jawa. Tidak peduli miskin atau kaya, mereka pasti memiliki sekurangnya sebilah keris.
"Setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus memiliki sebilah keris di rumahnya. Tidak ada satu pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah keris di sabuknya. Keris diletakkan di punggung, seperti belati di Portugal," tulis Pires.
Keris untuk masyarakat kebanyakan mungkin ditempa dari besi atau baja biasa. Tapi bagi para ksatria dan bangsawan, hanya logam terbaik yang dicampur untuk bahan dasarnya. Diketahui ada beberapa keris yang dibuat dari batu meteorit yang memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga.
Para ksatria dan bangsawan hanya memesan keris dari pandai besi yang dipanggil empu. Hanya empu terbaik yang mampu menghasilkan keris terbaik. Saat itu membentuk sebongkah logam menjadi keris tidak hanya melibatkan bara dan palu, tapi jiwa dan semangat. Pembuatannya pun bukan dalam hitungan minggu, tetapi tahunan.
Siapa yang tidak kenal dengan kisah Empu Gandring dan keris pesanan Ken Arok. Keris itu pula yang menjadi alat pembantu berdirinya dinasti Rajasa, yang menurunkan silsilah raja-raja Jawa. Sejarah mencatat, hidup para pelaku dinasti ini harus berakhir tragis di ujung keris yang sama.
Keris secara garis besar terdiri dari bilah atau daun keris. Ini adalah bagian paling penting dari sebuah keris. Selain itu ada hulu atau pegangan, ganja atau penopang dan warangka atau sarung keris. Bentuk bilah atau dhapur keris mencerminkan estetika dan identitas keris itu. Bilah keris terbagi dua, yang lurus atau berkelok atau luk. Luk selalu berjumlah ganjil, tidak pernah genap. Paling sedikit ada tiga lekukan, paling banyak 13 lekukan. Jika lebih atau kurang dari itu dianggap tidak lazim.
Sedangkan hulu dan warangka biasanya terbuat dari kayu, logam atau gading. Seringkali dihias dengan logam mulia dan batu berharga, sesuai tingkat sosial pemiliknya. Sama seperti bilah, kedua bagian ini juga sering dihias indah.
Keris yang dibuat untuk kalangan keraton seringkali ditambahi gelar Kyai. Biasanya ada kondisi tertentu yang melatarbelakangi pembuatan sebuah keris di keraton. Tidak hanya ancaman peperangan, kondisi sosial politik pada masa itu juga bisa dijadikan acuan pembuatan keris. Latar belakang seperti ini dinamakan tangguh keris. Ada juga keris yang sejak awal pembuatannya menyiratkan keberuntungan atau kesialan bagi pemiliknya.
Kyai Condong Campur misalnya, sebuah keris pusaka milik keraton Majapahit. Condong Campur merupakan suatu perlambang keinginan untuk menyatukan perbedaan. Condong berarti miring yang mengarah ke suatu titik, yang berarti keberpihakan atau keinginan. Sedangkan campur berarti menjadi satu atau perpaduan. Dengan demikian, Condong Campur adalah keinginan untuk menyatukan masyarakat Majapahit yang heterogen. Seperti diketahui, Majapahit saat itu menguasai seluruh Nusantara dengan banyak kerajaan kecil dan suku-suku di bawahnya. Muncullah keinginan untuk menyatukan berbagai perbedaan ini.
Ada lagi kisah Keris bernama Keris Kyai Setan Kober. Sejak awal keris pusaka ini diramalkan akan membawa kesialan dan petaka bagi pemiliknya. Keris ini milik Arya Penangsang atau Arya Jipang, bupati Jipang Panolan yang dikenal sakti madraguna. Dialah yang membunuh Sultan Prawoto, penguasa terakhir Kesultanan Demak tahun 1549.
Arya Jipang lalu bertempur dengan Danang Sutawijaya, yang kelak menjadi Sultan Mataram yang pertama. Saat itu pertempuran berjalan sengit. Tombak Sutawijaya berhasil melukai perut Arya Jipang, hingga ususnya terburai. Tapi Arya Jipang masih melawan, ususnya yang keluar dari perut, dibelitkannya ke warangka keris pusaka miliknya. Arya Jipang terus memberikan perlawanan sengit. Namun saat mencabut keris Kyai Setan Kober, keris ini malah menyobek ususnya sendiri.
Sutawijaya kagum dengan keperkasaan Arya Jipang. Untuk menghormati lawannya itu, Sutawijaya membelitkan melati pada warangka kerisnya. Melati melambangkan usus Arya Jipang yang terburai. Gaya busana itu masih digunakan hingga kini, setiap pengantin Jawa merangkaikan melati pada kerisnya. Ini sebenarnya diilhami dari kematian Arya Jipang yang tewas karena kerisnya sendiri.
Keris pun digunakan melawan penjajah Belanda dan Jepang. Pangerang Diponegoro memiliki beberapa keris pusaka. Salah satunya adalah Kyai Omyang. Keris ini memiliki 21 luk atau lekukan, dipercaya merupakan peninggalan zaman Majapahit. Kini keris tesebut ditaruh di Museum Sasana Wiratama, Yogyakarta.
Cerita kedigjayaan para ksatria dengan kerisnya memang tinggal masa lalu. Senapan dan mesiu menggantikan fungsi keris sebagai senjata. Ilmu kanarugan dan silat, perlahan terkikis bela diri dari luar negeri semacam krav maga dan yongmodo. Tapi bukan berarti keris punah.
Fungsi budaya keris sebagai mahakarya budaya Indonesia terus hidup. Kini keris sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Korps Marinir TNI AL memasukan keris dalam logo pasukan baret ungu tersebut. Hal ini sesuai dengan fungsi dan tupoksi pasukan Marinir untuk melakukan penyerbuan amphibi dari laut. Beberapa kesatuan TNI yang lain juga melakukan hal yang sama.
"Keris dan ombak melambangkan Marinir adalah penusuk dari laut," ujar Komandan Korp Marinir saat itu, Mayjen Djunaidi Djahri di Mabes AL, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (4/11/2008).
Keris masih digunakan sebagai pelengkap busana tradisional. Dalam busana pengantin Jawa, pengantin laki-laki didandani seperti bangsawan, lengkap dengan keris di punggungnya.
Di kalangan budayawan dan kolektor, keris-keris pusaka masih terus diburu. Harganya mencapai puluhan juta, hingga ratusan juta. Semakin baik dan semakin tua keris, harganya tentu makin mahal. Namun harga bukan masalah bagi para kolektor ini. Mendapatkan keris yang baik lebih tak ternilai harganya.
Fadli Zon salah satunya. Politisi dan budayawan ini mengoleksi ratusan keris dan barang-barang kuno lainnya. Ratusan keris itu tersimpan rapi di Fadli Zon Library di bilangan Benhil, Jakarta Pusat. Koleksi kerisnya berasal dari seluruh Nusantara, mulai keris Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Timur ada di sini. Beberapa keris sudah berusia ratusan tahun. Harganya? Mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah.
"Ini warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Keris ada di seluruh Nusantara. Ini merupakan budaya bangsa," kata Ketua Iluni Fakultas Ilmu Budaya UI ini saat ditemui detikcom beberapa waktu lalu.
Bulan Juni 2010 lalu, pameran 'Keris for the World' digelar di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Pameran ini cukup sukses mengumpulkan keris-keris dari seantero Nusantara. Pengunjung pameran juga cukup ramai, bukan hanya kolektor dan budayawan, tetapi juga masyarakat umum. Ke depan tentu saja, pameran serupa perlu digelar kembali untuk semakin memperkenalkan akar budaya Indonesia ini pada masyarakat Indonesia.
Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) juga baru saja menyelesaikan Kongres pertama di Hotel Kusuma Sahid, Solo, Kamis (21/4/2011) lalu. Mantan Menakertrans, Erman Suparno, terpilih sebagai Ketua Umum SNKI. Erman menjanjikan selama lima tahun kedepan SNKI akan menjadi organisasi legal yang tertata. Pembenahan manajemen organisasi secara multak harus dilakukan agar mampu menjadi wadah yang memadai untuk mengelola keris yang sudah diakui badan pendidikan dan sosial budaya PBB, UNESCO, sebagai warisan dunia tersebut.
"Pemerintah harus lebih berperan aktif turut melestarikan keris sebagai ikon wisata. Peran aktif pemerintah selama ini memang perlu dihargai sehingga mampu mengangkat keris sebagai warisan dunia, namun mestinya masih bisa ditingkatkan lagi," katanya pada wartawan.
Keris adalah mahakarya Indonesia. Filosofis keris yang mengajarkan sifat ksatria, keluhuran budi dan keberanian, masih sangat relevan diterapkan dalam kehidupan berbangsa saat ini. Termasuk menyatukan berbagai budaya tanpa menghilangkan identitas budaya tersebut. Sama seperti yang diajarkan Kyai Condong Campur, ratusan tahun lalu.
Prabu Kertanegara tahu hal ini. Raja Singosari ini juga tahu akibatnya jika menolak permintaan Kubilai Khan. Tapi dia tahu kedaulatan dan harga diri memang harus dijaga dengan darah dan nyawa. Seluruh pendopo pun hening, terdiam menunggu keputusan sang raja.
Raja gagah keturunan Ken Arok itu berjalan mendekati utusan Mongol yang sombong. Mereka jumawa, merasa tidak pernah terkalahkan di kolong langit.
Dengan ringan, Kertanegara mencabut keris pusaka Singosari dari warangkanya. Lebih cepat dari kilat, keris itu menebas telinga Meng Ki, salah satu utusan Negeri Mongol. Ini jawaban Kertanegara atas penghinaan Mongol.
Tanpa bicara, kerisnya sudah bicara. Singosari menolak tunduk pada Mongol. Rakyat Singosari tidak gentar pada tentara Mongol yang katanya tidak terkalahkan. Silakan datang, maka seluruh ksatria Singosari akan melawan.
Siapa sangka jika adegan di abad ke-13 itu turut menentukan alur berdirinya bangsa Indonesia. Jika saat itu, Kertanegara memilih tetap menyarungkan kerisnya, mungkin sejarah Indonesia akan lain. Mungkin Majapahit sebagai penerus Singosari tidak akan pernah berdiri. Tidak akan ada kisah Hayam Wuruk serta Gajah Mada dan Sumpah Palapa. Tapi hari itu adalah takdir, sudah menjadi keinginan yang Kuasa Kertanegara mencabut kerisnya.
Sama seperti filosofi keris. Baik bilah lurus atau luk, semuanya memiliki ujung tajam yang mengarah ke atas. Melambangkan semua kehidupan ini mengarah pada satu tujuan akhir, takdir dan akhirat.
Keris pada masanya adalah pelengkap kehidupan masyarakat. Bukan hanya di Jawa, keris digunakan di seluruh Nusantara. Di Bali, Kalimantan, Sumatera, hingga Sulawesi. Sehingga salah jika mengidentikan keris dengan budaya Jawa.
Keris adalah budaya Nusantara. Keris sama tuanya dengan kebudayaan logam di Nusantara. Tahun 1416, Ma Huan salah satu anggota ekspedisi Cheng Ho menyebutkan dalam catatannya, orang-orang Majapahit selalu mengenakan belati yang diselipkan pada ikat pinggang. Ma Huan cukup kagum dengan belati khas Jawa yang diketahui sebagai Keris. Dalam catatannya dia menjelaskan belati itu ditempa dengan baik dan diukir dengan indah. Hal ini menunjukan saat itu, para pandai besi di Indonesia sudah memiliki kemampuan yang tinggi.
Kisah lain diceritakan oleh seorang penjelajah Portugis, Tome Pires, pada abad ke-16. Dia menuliskan keris digunakan oleh setiap pria di Pulau Jawa. Tidak peduli miskin atau kaya, mereka pasti memiliki sekurangnya sebilah keris.
"Setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus memiliki sebilah keris di rumahnya. Tidak ada satu pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah keris di sabuknya. Keris diletakkan di punggung, seperti belati di Portugal," tulis Pires.
Keris untuk masyarakat kebanyakan mungkin ditempa dari besi atau baja biasa. Tapi bagi para ksatria dan bangsawan, hanya logam terbaik yang dicampur untuk bahan dasarnya. Diketahui ada beberapa keris yang dibuat dari batu meteorit yang memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga.
Para ksatria dan bangsawan hanya memesan keris dari pandai besi yang dipanggil empu. Hanya empu terbaik yang mampu menghasilkan keris terbaik. Saat itu membentuk sebongkah logam menjadi keris tidak hanya melibatkan bara dan palu, tapi jiwa dan semangat. Pembuatannya pun bukan dalam hitungan minggu, tetapi tahunan.
Siapa yang tidak kenal dengan kisah Empu Gandring dan keris pesanan Ken Arok. Keris itu pula yang menjadi alat pembantu berdirinya dinasti Rajasa, yang menurunkan silsilah raja-raja Jawa. Sejarah mencatat, hidup para pelaku dinasti ini harus berakhir tragis di ujung keris yang sama.
Keris secara garis besar terdiri dari bilah atau daun keris. Ini adalah bagian paling penting dari sebuah keris. Selain itu ada hulu atau pegangan, ganja atau penopang dan warangka atau sarung keris. Bentuk bilah atau dhapur keris mencerminkan estetika dan identitas keris itu. Bilah keris terbagi dua, yang lurus atau berkelok atau luk. Luk selalu berjumlah ganjil, tidak pernah genap. Paling sedikit ada tiga lekukan, paling banyak 13 lekukan. Jika lebih atau kurang dari itu dianggap tidak lazim.
Sedangkan hulu dan warangka biasanya terbuat dari kayu, logam atau gading. Seringkali dihias dengan logam mulia dan batu berharga, sesuai tingkat sosial pemiliknya. Sama seperti bilah, kedua bagian ini juga sering dihias indah.
Keris yang dibuat untuk kalangan keraton seringkali ditambahi gelar Kyai. Biasanya ada kondisi tertentu yang melatarbelakangi pembuatan sebuah keris di keraton. Tidak hanya ancaman peperangan, kondisi sosial politik pada masa itu juga bisa dijadikan acuan pembuatan keris. Latar belakang seperti ini dinamakan tangguh keris. Ada juga keris yang sejak awal pembuatannya menyiratkan keberuntungan atau kesialan bagi pemiliknya.
Kyai Condong Campur misalnya, sebuah keris pusaka milik keraton Majapahit. Condong Campur merupakan suatu perlambang keinginan untuk menyatukan perbedaan. Condong berarti miring yang mengarah ke suatu titik, yang berarti keberpihakan atau keinginan. Sedangkan campur berarti menjadi satu atau perpaduan. Dengan demikian, Condong Campur adalah keinginan untuk menyatukan masyarakat Majapahit yang heterogen. Seperti diketahui, Majapahit saat itu menguasai seluruh Nusantara dengan banyak kerajaan kecil dan suku-suku di bawahnya. Muncullah keinginan untuk menyatukan berbagai perbedaan ini.
Ada lagi kisah Keris bernama Keris Kyai Setan Kober. Sejak awal keris pusaka ini diramalkan akan membawa kesialan dan petaka bagi pemiliknya. Keris ini milik Arya Penangsang atau Arya Jipang, bupati Jipang Panolan yang dikenal sakti madraguna. Dialah yang membunuh Sultan Prawoto, penguasa terakhir Kesultanan Demak tahun 1549.
Arya Jipang lalu bertempur dengan Danang Sutawijaya, yang kelak menjadi Sultan Mataram yang pertama. Saat itu pertempuran berjalan sengit. Tombak Sutawijaya berhasil melukai perut Arya Jipang, hingga ususnya terburai. Tapi Arya Jipang masih melawan, ususnya yang keluar dari perut, dibelitkannya ke warangka keris pusaka miliknya. Arya Jipang terus memberikan perlawanan sengit. Namun saat mencabut keris Kyai Setan Kober, keris ini malah menyobek ususnya sendiri.
Sutawijaya kagum dengan keperkasaan Arya Jipang. Untuk menghormati lawannya itu, Sutawijaya membelitkan melati pada warangka kerisnya. Melati melambangkan usus Arya Jipang yang terburai. Gaya busana itu masih digunakan hingga kini, setiap pengantin Jawa merangkaikan melati pada kerisnya. Ini sebenarnya diilhami dari kematian Arya Jipang yang tewas karena kerisnya sendiri.
Keris pun digunakan melawan penjajah Belanda dan Jepang. Pangerang Diponegoro memiliki beberapa keris pusaka. Salah satunya adalah Kyai Omyang. Keris ini memiliki 21 luk atau lekukan, dipercaya merupakan peninggalan zaman Majapahit. Kini keris tesebut ditaruh di Museum Sasana Wiratama, Yogyakarta.
Cerita kedigjayaan para ksatria dengan kerisnya memang tinggal masa lalu. Senapan dan mesiu menggantikan fungsi keris sebagai senjata. Ilmu kanarugan dan silat, perlahan terkikis bela diri dari luar negeri semacam krav maga dan yongmodo. Tapi bukan berarti keris punah.
Fungsi budaya keris sebagai mahakarya budaya Indonesia terus hidup. Kini keris sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Korps Marinir TNI AL memasukan keris dalam logo pasukan baret ungu tersebut. Hal ini sesuai dengan fungsi dan tupoksi pasukan Marinir untuk melakukan penyerbuan amphibi dari laut. Beberapa kesatuan TNI yang lain juga melakukan hal yang sama.
"Keris dan ombak melambangkan Marinir adalah penusuk dari laut," ujar Komandan Korp Marinir saat itu, Mayjen Djunaidi Djahri di Mabes AL, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (4/11/2008).
Keris masih digunakan sebagai pelengkap busana tradisional. Dalam busana pengantin Jawa, pengantin laki-laki didandani seperti bangsawan, lengkap dengan keris di punggungnya.
Di kalangan budayawan dan kolektor, keris-keris pusaka masih terus diburu. Harganya mencapai puluhan juta, hingga ratusan juta. Semakin baik dan semakin tua keris, harganya tentu makin mahal. Namun harga bukan masalah bagi para kolektor ini. Mendapatkan keris yang baik lebih tak ternilai harganya.
Fadli Zon salah satunya. Politisi dan budayawan ini mengoleksi ratusan keris dan barang-barang kuno lainnya. Ratusan keris itu tersimpan rapi di Fadli Zon Library di bilangan Benhil, Jakarta Pusat. Koleksi kerisnya berasal dari seluruh Nusantara, mulai keris Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Timur ada di sini. Beberapa keris sudah berusia ratusan tahun. Harganya? Mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah.
"Ini warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Keris ada di seluruh Nusantara. Ini merupakan budaya bangsa," kata Ketua Iluni Fakultas Ilmu Budaya UI ini saat ditemui detikcom beberapa waktu lalu.
Bulan Juni 2010 lalu, pameran 'Keris for the World' digelar di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Pameran ini cukup sukses mengumpulkan keris-keris dari seantero Nusantara. Pengunjung pameran juga cukup ramai, bukan hanya kolektor dan budayawan, tetapi juga masyarakat umum. Ke depan tentu saja, pameran serupa perlu digelar kembali untuk semakin memperkenalkan akar budaya Indonesia ini pada masyarakat Indonesia.
Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) juga baru saja menyelesaikan Kongres pertama di Hotel Kusuma Sahid, Solo, Kamis (21/4/2011) lalu. Mantan Menakertrans, Erman Suparno, terpilih sebagai Ketua Umum SNKI. Erman menjanjikan selama lima tahun kedepan SNKI akan menjadi organisasi legal yang tertata. Pembenahan manajemen organisasi secara multak harus dilakukan agar mampu menjadi wadah yang memadai untuk mengelola keris yang sudah diakui badan pendidikan dan sosial budaya PBB, UNESCO, sebagai warisan dunia tersebut.
"Pemerintah harus lebih berperan aktif turut melestarikan keris sebagai ikon wisata. Peran aktif pemerintah selama ini memang perlu dihargai sehingga mampu mengangkat keris sebagai warisan dunia, namun mestinya masih bisa ditingkatkan lagi," katanya pada wartawan.
Keris adalah mahakarya Indonesia. Filosofis keris yang mengajarkan sifat ksatria, keluhuran budi dan keberanian, masih sangat relevan diterapkan dalam kehidupan berbangsa saat ini. Termasuk menyatukan berbagai budaya tanpa menghilangkan identitas budaya tersebut. Sama seperti yang diajarkan Kyai Condong Campur, ratusan tahun lalu.
Paguyuban Perkuat Kecintaan terhadap Keris
Sumber: http://cetak.kompas.com/
Para
pencinta keris di Yogyakarta sering bertemu untuk saling belajar memahami
filosofi keris masing-masing yang mereka miliki. Ilmu tentang keris pun mereka
dapatkan saat berkumpul dalam sebuah paguyuban. Melalui ajang paguyuban ini
pula, pencinta keris bisa memperkuat kecintaan terhadap senjata khas tanah Jawa
itu.
"Saya dulu tertarik ikut paguyuban Pametri Wiji karena ingin mempelajari secara benar," kata Wisben Antoro, seniman yang memiliki 40 keris dari berbagai tangguh (era), Kamis (25/2). Wisben mengakui diri sebagai "kolekdol" (koleksi untuk dijual). Ia memiliki keris tangguh Pajajaran dari abad ke-13. Kerisnya yang paling muda adalah tangguh Sultan Hamengku Buwono VII. Selain diberi, ia juga membeli. Sebelumnya, ia memiliki 100 keris, namun sebagian laku dijual.
Pametri Wiji
Sekali dalam sebulan, Pametri Wiji menggelar sarasehan menghadirkan narasumber pakar keris. Inilah ajang untuk belajar keris. Setiap anggota dan simpatisan membawa keris sendiri untuk didiskusikan bersama. Menurut Wisben, saat ini banyak anak muda ikut bersarasehan. Di antara mereka memiliki keris warisan orangtua.
"Semula pertanyaannya lucu-lucu, misalnya ada yang bertanya apakah keris miliknya itu ada "isi"nya? Atau kadang percaya kerisnya harus diberi makan apa? Ha...ha...ha...," tutur Wisben, yang menjadi Seksi Pameran Pametri Wiji.
Dari belajar bersama itu, Wisben mengaku menjadi tahu beberapa filosofi keris. Ia mencontohkan, setelah bergabung Pametri Wiji, baru tahu kalau deder (gagang keris) mengambil wujud janin bayi yang bermakna kelahiran.
Wisben mengaku kagum dengan teknologi pembuatan keris. Ia percaya, keris memiliki gelombang energi yang dapat memengaruhi orang di sekitarnya.
"Itu muncul dari penempaan yang terus-menerus. Jadi, keris itu bagaikan kalung magnet," katanya.
Penanda golongan
Keraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan di Yogyakarta juga terus melestarikan keris sebagai salah satu koleksi senjata keraton. Di kalangan abdi dalem keraton, keris menjadi penanda golongan atau pangkat yang diemban abdi dalem. Keris ini hanya boleh dikenakan abdi dalem dengan pangkat bekel ke atas.
Iwan, abdi dalem Keraton Yogyakarta, mengaku masih menyimpan keris sebagai warisan turun-temurun nenek moyangnya. Senjata keris dengan pamor udan mas itu hanya disimpan sebagai koleksi karena Iwan sama sekali tidak mengetahui cara perawatan dan kegunaannya selain ketika menghadiriresepsi dalam busana tradisional Jawa.
Meskipun demikian, keris sebagai warisan leluhur turun-temurun tetap ia jaga dan pelihara.
"Saya dulu tertarik ikut paguyuban Pametri Wiji karena ingin mempelajari secara benar," kata Wisben Antoro, seniman yang memiliki 40 keris dari berbagai tangguh (era), Kamis (25/2). Wisben mengakui diri sebagai "kolekdol" (koleksi untuk dijual). Ia memiliki keris tangguh Pajajaran dari abad ke-13. Kerisnya yang paling muda adalah tangguh Sultan Hamengku Buwono VII. Selain diberi, ia juga membeli. Sebelumnya, ia memiliki 100 keris, namun sebagian laku dijual.
Pametri Wiji
Sekali dalam sebulan, Pametri Wiji menggelar sarasehan menghadirkan narasumber pakar keris. Inilah ajang untuk belajar keris. Setiap anggota dan simpatisan membawa keris sendiri untuk didiskusikan bersama. Menurut Wisben, saat ini banyak anak muda ikut bersarasehan. Di antara mereka memiliki keris warisan orangtua.
"Semula pertanyaannya lucu-lucu, misalnya ada yang bertanya apakah keris miliknya itu ada "isi"nya? Atau kadang percaya kerisnya harus diberi makan apa? Ha...ha...ha...," tutur Wisben, yang menjadi Seksi Pameran Pametri Wiji.
Dari belajar bersama itu, Wisben mengaku menjadi tahu beberapa filosofi keris. Ia mencontohkan, setelah bergabung Pametri Wiji, baru tahu kalau deder (gagang keris) mengambil wujud janin bayi yang bermakna kelahiran.
Wisben mengaku kagum dengan teknologi pembuatan keris. Ia percaya, keris memiliki gelombang energi yang dapat memengaruhi orang di sekitarnya.
"Itu muncul dari penempaan yang terus-menerus. Jadi, keris itu bagaikan kalung magnet," katanya.
Penanda golongan
Keraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan di Yogyakarta juga terus melestarikan keris sebagai salah satu koleksi senjata keraton. Di kalangan abdi dalem keraton, keris menjadi penanda golongan atau pangkat yang diemban abdi dalem. Keris ini hanya boleh dikenakan abdi dalem dengan pangkat bekel ke atas.
Iwan, abdi dalem Keraton Yogyakarta, mengaku masih menyimpan keris sebagai warisan turun-temurun nenek moyangnya. Senjata keris dengan pamor udan mas itu hanya disimpan sebagai koleksi karena Iwan sama sekali tidak mengetahui cara perawatan dan kegunaannya selain ketika menghadiriresepsi dalam busana tradisional Jawa.
Meskipun demikian, keris sebagai warisan leluhur turun-temurun tetap ia jaga dan pelihara.
Situ dan Candi di Kampung Pulo, Garut
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/ (Christin Fransiska)
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/ (Christin Fransiska)
KONON
di Kampung Pulo berabad-abad lalu, terdapat putri Hindu nan cantik jelita.
Ketika itu, datanglah Arif Muhammad, panglima perang kerajaan Mataram. Dalam
pelariannya setelah kalah melawan Belanda, Arif memutuskan menetap di desa.
Sambil menyebarkan agama Islam, ia lalu jatuh hati pada sang putri.
Gayung pun bersambut. Sang putri mengiyakan, namun dengan satu syarat. Buatlah danau yang mengelilingi desa, pinta sang putri. Esoknya, muncullah sebuah situ, yang kini bernama situ Cangkuang.
Kisah itu diceritakan turun temurun di Kampung Pulo, Kecamatan Leles, Garut. Situ Cangkuang yang kini menjadi objek wisata, menyimpan banyak kisah. Begitu juga Candi Cangkuang di seberang situ, serta makam Arif Muhammad di sebelahnya.
Untuk mencapai lokasi, rakit bambu disediakan pengelola. Cukup Rp3.000 untuk dewasa dan Rp2.000 untuk anak-anak. Tak sampai sepuluh menit menyebrangi situ, kami sudah bisa sampai di candi setinggi delapan setengah meter itu.
Perpaduan Hindu-Islam menjadi ciri istimewa. Candi dan makam Arif Muhammad terletak bersisian menandakan harmoni dua agama. Pertama kali candi ditemukan pada 1966 oleh Harsoyo dan Uka Candrasasmita. Penemuan ini berdasarkan laporan Vorderman tahun 1893.
Sayangnya, candi Cangkuang ditemukan tak berbentuk. Hanya bersisa 40 persen saja puingnya yang 60 persen yang hilang lalu dibuat replika. Sehingga pada 1976, candi itu utuh kembali. Tepat di belakang komplek candi, terdapat rumah adat yang dengan bebas bisa ditelusuri.
Rumah adat Kampung Pulo hanya tujuh saja jumlahnya. Tak boleh lebih, juga tak boleh kurang. Susunannya seperti huruf U, lingkungannya terawat, bersih, dan rapi. Jumlah ini simbol dari tujuh anak Arif Muhammad. Satu bangunan masjid melambangkan anak laki-laki. Enam lainnya berupa rumah tinggal, melambangkan anak perempuan.
"Kalau anak sudah menikah, dia harus pindah dari desa ini, tapi kalau ada rumah yang kosong, nanti dipanggil kembali," jelas Tatang, Juru Kunci di Kampung Pulo.
Walau memeluk agama islam, warga kampung memengang garis keturunan perempuan. Maka, hanya anak perempuan yang berhak tinggal di desa, anak laki-laki harus pindah ketika dewasa.
Tatang, pria paruh baya itu, kemudian bercerita banyak hal. Kisah tentang benda pusaka yang hilang, para leluhur, bentuk rumah, dan kisah adat Kampung Pulo lainnya.
Gayung pun bersambut. Sang putri mengiyakan, namun dengan satu syarat. Buatlah danau yang mengelilingi desa, pinta sang putri. Esoknya, muncullah sebuah situ, yang kini bernama situ Cangkuang.
Kisah itu diceritakan turun temurun di Kampung Pulo, Kecamatan Leles, Garut. Situ Cangkuang yang kini menjadi objek wisata, menyimpan banyak kisah. Begitu juga Candi Cangkuang di seberang situ, serta makam Arif Muhammad di sebelahnya.
Untuk mencapai lokasi, rakit bambu disediakan pengelola. Cukup Rp3.000 untuk dewasa dan Rp2.000 untuk anak-anak. Tak sampai sepuluh menit menyebrangi situ, kami sudah bisa sampai di candi setinggi delapan setengah meter itu.
Perpaduan Hindu-Islam menjadi ciri istimewa. Candi dan makam Arif Muhammad terletak bersisian menandakan harmoni dua agama. Pertama kali candi ditemukan pada 1966 oleh Harsoyo dan Uka Candrasasmita. Penemuan ini berdasarkan laporan Vorderman tahun 1893.
Sayangnya, candi Cangkuang ditemukan tak berbentuk. Hanya bersisa 40 persen saja puingnya yang 60 persen yang hilang lalu dibuat replika. Sehingga pada 1976, candi itu utuh kembali. Tepat di belakang komplek candi, terdapat rumah adat yang dengan bebas bisa ditelusuri.
Rumah adat Kampung Pulo hanya tujuh saja jumlahnya. Tak boleh lebih, juga tak boleh kurang. Susunannya seperti huruf U, lingkungannya terawat, bersih, dan rapi. Jumlah ini simbol dari tujuh anak Arif Muhammad. Satu bangunan masjid melambangkan anak laki-laki. Enam lainnya berupa rumah tinggal, melambangkan anak perempuan.
"Kalau anak sudah menikah, dia harus pindah dari desa ini, tapi kalau ada rumah yang kosong, nanti dipanggil kembali," jelas Tatang, Juru Kunci di Kampung Pulo.
Walau memeluk agama islam, warga kampung memengang garis keturunan perempuan. Maka, hanya anak perempuan yang berhak tinggal di desa, anak laki-laki harus pindah ketika dewasa.
Tatang, pria paruh baya itu, kemudian bercerita banyak hal. Kisah tentang benda pusaka yang hilang, para leluhur, bentuk rumah, dan kisah adat Kampung Pulo lainnya.